Presiden Prawiranegara? Benarkah ada nama Prawiranegara yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia? Jika iya, mengapa namanya tidak ada dalam deretan nama-nama yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di RI tersebut?
Syafruddin Prawiranegara secara “normal” memang tidak pernah menjabat sebagai Presiden RI. Beliau mendapat sebutan Presiden Prawiranegara karena pernah menjabat pimpinan tertinggi PDRI. Menilik catatan sejarah, PDRI adalah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang terbentuk karena Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Serangan Belanda terhadap Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota negara membuat tokoh-tokoh penting negeri ini tertangkap, di antaranya Soekarno dan Mohammad Hatta. Jatuhnya ibu kota negara dan tertangkapnya dua orang top di negeri ini otomatis membuat pemerintahan tidak berjalan dengan normal. Hal tersebut menyebabkan dibentuknya PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan berada di Sumatera Barat.
Kisah pria yang memiliki nama kecil Kuding dalam memimpin PDRI inilah yang menjadi poin utama Akmal Nasery Basral dalam novel ini. Karena latar belakang sejarahnya yang kuat itu, tidak diragukan lagi bahwa novel ini bergenre fiksi historis. Latar belakang penulisan novel ini secara umum adalah untuk memberikan penghargaan lebih kepada para Pendiri Bangsa, setelah sebelumnya Akmal sukses menelurkan karya sejenis yang berjudul Sang Pencerah. Penulisan novel ini juga sekaligus sebagai bentuk peringatan 100 Tahun Syafruddin Prawiranegara yang jatuh pada Februari 2011 silam. Dan bagi saya pribadi, novel ini memberikan khazanah baru dalam wawasan sejarah nusantara karena tokoh Syafruddin Prawiranegara ini memang jarang terdengar jasa-jasanya bagi republik ini.
Novel ini mengisahkan perjuangan Pak Syaf selama memimpin PDRI dari sudut pandang seorang tokoh fiktif bernama Kamil Koto. Kamil adalah seorang pemuda Pariaman dengan usia sekitar 17 tahun. Sebelumnya Kamil bukanlah siapa-siapa, pekerjaannya pun sebagai pencopet dan pencuri kelas teri di pasar. Garis hidupnya berubah setelah dia diselamatkan oleh Mr. Sutan Mohammad Rasyid—dikenal sebagai Residen Rasyid dalam novel ini—dari hajaran pengawal-pengawal Ajo Sidi karena kepergok mencuri jam saku sang saudagar tersebut. Karena merasa berutang budi pada Residen Rasyid, Kamil meminta agar dia dipekerjakan oleh sang residen. Residen Rasyid meluluskan permintaan tersebut dan setelah itu Kamil bekerja membantu pekerjaan sehari-hari Residen Rasyid. Situasi dalam negeri yang kemudian berkecamuk akibat serangan Belanda membuat pekerjaan Kamil juga berubah menjadi perjuangan. Perjuangannya bersama kelompok Residen Rasyid itulah yang kemudian membawanya bertemu dengan Syafruddin Prawiranegara. Pertemuan tersebut juga membuat Kamil berpindah tuan dari Residen Rasyid ke Pak Syaf. Sejak itu Kamil bekerja sebagai tukang pijat dalam rombongan Pak Syaf sekaligus membantu perjuangan beliau dalam memimpin PDRI dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Dan seperti novel-novel fiksi historis lainnya, novel ini juga melibatkan banyak tokoh di dalamnya. Banyak di antaranya yang merupakan tokoh yang benar-benar tercatat dalam sejarah, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Jenderal Sudirman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan masih banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu di sini. Semua tokoh-tokoh nyata tersebut mampu dikombinasikan dengan baik bersama tokoh-tokoh fiktif sehingga pengalaman membaca novel ini bisa seperti membaca sebuah catatan pribadi seorang pejuang.
Meski begitu buku ini tetap saja merupakan sebuah novel, yang tidak hanya menceritakan kisah perjuangan Pak Syaf, tetapi juga menceritakan kisah hidup seorang tokoh fiktif bernama Kamil. Dua kisah kehidupan inilah yang menjadi plot utama novel ini. Sayangnya meski judul buku ini lebih menonjolkan kisah Pak Syaf, saya justru tidak merasakan hal tersebut ketika membaca novel ini. Kisah kehidupan Kamil sedikit lebih mendominasi dalam novel ini, terutama dalam usahanya mendapatkan cinta Puti Zahara—seorang gadis yang ternyata juga anak Ajo Sidi. Well, saya maklum juga jika yang namanya novel pasti terselip bumbu romansa yang membuat jalan cerita menjadi lebih menarik. Tapi, untuk novel historis seperti ini kisah romansa Kamil dan Zahara dalam novel ini terlalu berlebihan. Sehingga fokus kita yang seharusnya tertuju pada perjuangan Pak Syaf dalam memimpin PDRI jadi teralihkan pada Kamil dan kisah romansanya.
Yah, karena Akmal memang “memutuskan” menceritakan kisah ini dari sudut pandang Kamil, jadi ya memang suka-suka Kamil untuk “menuliskan” kisahnya. Jadi tidak mengherankan jika dalam membaca novel ini kita akan merasa seperti membaca novel-novel dengan setting ranah Minang. Cukup banyak ungkapan dan kata khas Minang yang akan kita temui dalam novel ini, seperti ondeh mandeh dan uda. Selain itu novel ini juga ditulis dengan gaya yang cukup jenaka. Cukup banyak kekonyolan—yang terutama dilakukan Kamil—diceritakan dalam novel ini. Salah satu contohnya dapat kita temui pada adegan Kamil yang secara tak sengaja meneguk satu gelas kopi panas karena dag-dig-dug-duermenghadapi Zahara. Secara umum hal tersebut memang membuat novel ini lebih luwes dan enak dibaca, tapi menurut saya jika terlalu berlebihan malah membuat “keseriusan” sebuah novel fiksi historis menjadi berkurang.
Dan seperti novel fiksi historis pada umumnya, novel ini memberikan cukup banyak pengetahuan baru bagi saya. Contohnya adalah gelar “Mr.” yang disandang Pak Syaf dan Residen Rasyid ternyata adalah singkatan dari Meester in de Rechten atau gelar sarjana hukum dari Belanda. Sebelumnya saya mengira bahwa gelar itu sama dengan gelar yang setara dengan “Tuan” yang umum dipakai di Barat. Selain itu saya juga mengetahui berbagai kebijakan ekonomi di waktu itu seperti “Gunting Syafruddin” dan berbagai pengetahuan baru tentang peredaran ORI (Oeang Republik Indonesia) pada masa itu.
Dengan tebal yang sedang-sedang saja dan dicetak menggunakan ukuran font yang pas di mata, membuat buku ini secara umum sangat enak dibaca. Meski saya menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang baku, hal itu tidak mengurangi kenikmatan membaca novel ini secara signifikan. Jika kalian ingin mengetahui lebih jauh siapa itu Syafruddin Prawiranegara, bacalah buku ini! Karena saya yakin setelah itu kalian juga akan sedikitgoogling tentang Pak Syaf dan PDRI. Dan jika kalian ingin membaca kisah romansa ala anak negeri, buku ini juga cocok kok untuk hal tersebut.
Presiden Prawiranegara
oleh Akmal Nasery Basral
Penerbit Mizan; Cetakan I, Maret 2011
Softcover; xxiv + 372 halaman; 14 x 21 cm
ISBN: 978-979-433-613-7
oleh Akmal Nasery Basral
Penerbit Mizan; Cetakan I, Maret 2011
Softcover; xxiv + 372 halaman; 14 x 21 cm
ISBN: 978-979-433-613-7
Categories: