• Jan : 31 : 2011 - Forbin pretium quam quis lacus eleifend ultricies
  • Jan : 31 : 2011 - Aenean vehicula congue nisi rhoncus tempor neque interdum vitae
  • Jan : 31 : 2011 - Integer nec libero urnanisl sed vestibulum
  • Jan : 31 : 2011 - Suspendisse cursus hendrerit metus et luctu
  • Jan : 31 : 2011 - Nam ullamcorper iaculis erat eget suscipit.

Featured articles

Etiam tincidunt lobortis massa et tincidunt. Vivamus commodo feugiat turpis, in pulvinar felis elementum vel. Vivamus mollis tempus odio, ac imperdiet enim adipiscing non. Nunc Read More ...

Proin ac leo eget nibh interdum egestas? Aliquam vel dolor vitae dui tempor sollicitudin! Integer sollicitudin, justo non posuere condimentum, mauris libero imperdiet urna, a Read More ...

Etiam ultrices felis sed ante tincidunt pharetra. Morbi sit amet orci at lorem tincidunt viverra. Donec varius posuere leo et iaculis. Pellentesque ultricies, ante at Read More ...

Bendera Merah Putih
Bendera andalah lambang suatu negara. Oleh karena itu setiap negara memiliki bendera yang berbeda satu sama lain. Bendera negara kita disebut Sang Merah Putih karena terdiri dari warna merah dan warna putih. Warna merah memiliki makna berani dan warna putih memiliki makna suci. Bentuk, bahan, dan ukuran bendera negara Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 24 tahun 2009.

Bentuk Bendera Merah Putih
Bendera negara “Sang Merah Putih” berbentuk empat persegi panjang dengan perbandingan lebar terhadap panjang 2:3. Bendera merah putih terdiri dari dua warna yaitu warna merah di bagian atas dan warna putih di bagian bawah. Bidang yang berwarna merah dan bidang yang berwarna putih memiliki bentuk dan luasan yang sama.

Bahan Bendera Merah Putih
Bendera merah putih untuk penggunaan resmi harus dibuat dari bahan kain yang warnanya tidak luntur.

Ukuran Bendera Merah Putih
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 bendera negara merah putih harus dibuat dengan ketentuan ukuran sebagai berikut.
• Bendera ukuran 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan
• Bendera ukuran 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum
• Bendera ukuran 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan
• Bendera ukuran 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden
• Bendera ukuran 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara
• Bendera ukuran 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum
• Bendera ukuran 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal
• Bendera ukuran 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api
• Bendera ukuran 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara
• Bendera ukuran 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja
Untuk keperluan selain yang tersebut di atas, bendera yang merepresentasikan bendera negara dapat dibuat dari bahan yang berbeda dengan bahan, ukuran, dan bentuk yang berbeda dari bahan, ukuran, dan bentuk standar.

Bendera Negara wajib dikibarkan setiap hari di:
  1. istana Presiden dan Wakil Presiden;
  2. gedung atau kantor lembaga negara;
  3. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
  4. gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
  5. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
  6. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
  7. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
  8. gedung atau halaman satuan pendidikan;
  9. gedung atau kantor swasta;
  10. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
  11. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
  12. rumah jabatan menteri;
  13. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
  14. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
  15. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
  16. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  17. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
  18. taman makam pahlawan nasional.

Momentum pengibaran bendera asli setelah deklarasi kemerdekaanpada tanggal 17 Agustus 1945.
Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.
Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Setiap orang dilarang:
  1. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
  2. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
  3. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
  4. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
  5. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.


















Presiden Prawiranegara? Benarkah ada nama Prawiranegara yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia? Jika iya, mengapa namanya tidak ada dalam deretan nama-nama yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di RI tersebut?
Syafruddin Prawiranegara secara “normal” memang tidak pernah menjabat sebagai Presiden RI. Beliau mendapat sebutan Presiden Prawiranegara karena pernah menjabat pimpinan tertinggi PDRI. Menilik catatan sejarah, PDRI adalah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang terbentuk karena Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Serangan Belanda terhadap Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota negara membuat tokoh-tokoh penting negeri ini tertangkap, di antaranya Soekarno dan Mohammad Hatta. Jatuhnya ibu kota negara dan tertangkapnya dua orang top di negeri ini otomatis membuat pemerintahan tidak berjalan dengan normal. Hal tersebut menyebabkan dibentuknya PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan berada di Sumatera Barat.
Kisah pria yang memiliki nama kecil Kuding dalam memimpin PDRI inilah yang menjadi poin utama Akmal Nasery Basral dalam novel ini. Karena latar belakang sejarahnya yang kuat itu, tidak diragukan lagi bahwa novel ini bergenre fiksi historis. Latar belakang penulisan novel ini secara umum adalah untuk memberikan penghargaan lebih kepada para Pendiri Bangsa, setelah sebelumnya Akmal sukses menelurkan karya sejenis yang berjudul Sang Pencerah. Penulisan novel ini juga sekaligus sebagai bentuk peringatan 100 Tahun Syafruddin Prawiranegara yang jatuh pada Februari 2011 silam. Dan bagi saya pribadi, novel ini memberikan khazanah baru dalam wawasan sejarah nusantara karena tokoh Syafruddin Prawiranegara ini memang jarang terdengar jasa-jasanya bagi republik ini.
Novel ini mengisahkan perjuangan Pak Syaf selama memimpin PDRI dari sudut pandang seorang tokoh fiktif bernama Kamil Koto. Kamil adalah seorang pemuda Pariaman dengan usia sekitar 17 tahun. Sebelumnya Kamil bukanlah siapa-siapa, pekerjaannya pun sebagai pencopet dan pencuri kelas teri di pasar. Garis hidupnya berubah setelah dia diselamatkan oleh Mr. Sutan Mohammad Rasyid—dikenal sebagai Residen Rasyid dalam novel ini—dari hajaran pengawal-pengawal Ajo Sidi karena kepergok mencuri jam saku sang saudagar tersebut. Karena merasa berutang budi pada Residen Rasyid, Kamil meminta agar dia dipekerjakan oleh sang residen. Residen Rasyid meluluskan permintaan tersebut dan setelah itu Kamil bekerja membantu pekerjaan sehari-hari Residen Rasyid. Situasi dalam negeri yang kemudian berkecamuk akibat serangan Belanda membuat pekerjaan Kamil juga berubah menjadi perjuangan. Perjuangannya bersama kelompok Residen Rasyid itulah yang kemudian membawanya bertemu dengan Syafruddin Prawiranegara. Pertemuan tersebut juga membuat Kamil berpindah tuan dari Residen Rasyid ke Pak Syaf. Sejak itu Kamil bekerja sebagai tukang pijat dalam rombongan Pak Syaf sekaligus membantu perjuangan beliau dalam memimpin PDRI dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Dan seperti novel-novel fiksi historis lainnya, novel ini juga melibatkan banyak tokoh di dalamnya. Banyak di antaranya yang merupakan tokoh yang benar-benar tercatat dalam sejarah, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Jenderal Sudirman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan masih banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu di sini. Semua tokoh-tokoh nyata tersebut mampu dikombinasikan dengan baik bersama tokoh-tokoh fiktif sehingga pengalaman membaca novel ini bisa seperti membaca sebuah catatan pribadi seorang pejuang.
Meski begitu buku ini tetap saja merupakan sebuah novel, yang tidak hanya menceritakan kisah perjuangan Pak Syaf, tetapi juga menceritakan kisah hidup seorang tokoh fiktif bernama Kamil. Dua kisah kehidupan inilah yang menjadi plot utama novel ini. Sayangnya meski judul buku ini lebih menonjolkan kisah Pak Syaf, saya justru tidak merasakan hal tersebut ketika membaca novel ini. Kisah kehidupan Kamil sedikit lebih mendominasi dalam novel ini, terutama dalam usahanya mendapatkan cinta Puti Zahara—seorang gadis yang ternyata juga anak Ajo Sidi. Well, saya maklum juga jika yang namanya novel pasti terselip bumbu romansa yang membuat jalan cerita menjadi lebih menarik. Tapi, untuk novel historis seperti ini kisah romansa Kamil dan Zahara dalam novel ini terlalu berlebihan. Sehingga fokus kita yang seharusnya tertuju pada perjuangan Pak Syaf dalam memimpin PDRI jadi teralihkan pada Kamil dan kisah romansanya.
Yah, karena Akmal memang “memutuskan” menceritakan kisah ini dari sudut pandang Kamil, jadi ya memang suka-suka Kamil untuk “menuliskan” kisahnya. Jadi tidak mengherankan jika dalam membaca novel ini kita akan merasa seperti membaca novel-novel dengan setting ranah Minang. Cukup banyak ungkapan dan kata khas Minang yang akan kita temui dalam novel ini, seperti ondeh mandeh dan uda. Selain itu novel ini juga ditulis dengan gaya yang cukup jenaka. Cukup banyak kekonyolan—yang terutama dilakukan Kamil—diceritakan dalam novel ini. Salah satu contohnya dapat kita temui pada adegan Kamil yang secara tak sengaja meneguk satu gelas kopi panas karena dag-dig-dug-duermenghadapi Zahara. Secara umum hal tersebut memang membuat novel ini lebih luwes dan enak dibaca, tapi menurut saya jika terlalu berlebihan malah membuat “keseriusan” sebuah novel fiksi historis menjadi berkurang.
Dan seperti novel fiksi historis pada umumnya, novel ini memberikan cukup banyak pengetahuan baru bagi saya. Contohnya adalah gelar “Mr.” yang disandang Pak Syaf dan Residen Rasyid ternyata adalah singkatan dari Meester in de Rechten atau gelar sarjana hukum dari Belanda. Sebelumnya saya mengira bahwa gelar itu sama dengan gelar yang setara dengan “Tuan” yang umum dipakai di Barat. Selain itu saya juga mengetahui berbagai kebijakan ekonomi di waktu itu seperti “Gunting Syafruddin” dan berbagai pengetahuan baru tentang peredaran ORI (Oeang Republik Indonesia) pada masa itu.
Dengan tebal yang sedang-sedang saja dan dicetak menggunakan ukuran font yang pas di mata, membuat buku ini secara umum sangat enak dibaca. Meski saya menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang baku, hal itu tidak mengurangi kenikmatan membaca novel ini secara signifikan. Jika kalian ingin mengetahui lebih jauh siapa itu Syafruddin Prawiranegara, bacalah buku ini! Karena saya yakin setelah itu kalian juga akan sedikitgoogling tentang Pak Syaf dan PDRI. Dan jika kalian ingin membaca kisah romansa ala anak negeri, buku ini juga cocok kok untuk hal tersebut.
Presiden Prawiranegara
oleh Akmal Nasery Basral
Penerbit Mizan; Cetakan I, Maret 2011
Softcover; xxiv + 372 halaman; 14 x 21 cm
ISBN: 978-979-433-613-7

syarifah.jpg

Orang Minangkabau terkesan terlalu membanggakan demokrasi matrilinealnya, yang katanya membuat status kaum wanita mereka lebih baik dalam masyarakat ketimbang kaum wanita dari suku bangsa lain. Sampai batas tertentu hal itu mungkin betul. Namun, pada hakekatnya kaum wanita Minang pada zaman lampau, seperti halnya di tempat-tempat lain, juga tersubordinasi di bawah dominasi kaum pria. Di bidang pendidikan umpamanya, umumnya keluarga Minang menganggap lebih penting menyekolahkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan (lihatlah refleksinya dalam banyak novel Indonesia awal yang dituils oleh penulis Minang). Anak-anak gadis dipingit orang tuanya di rumah untuk kemudian menjalani kawin paksa di usia muda. Mungkin Syarifah Nawawi adalah gadis Minang pertama yang terbebaskan dari tradisi kuno itu.

Syarifah lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar Soetan Mamoer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan. Syarifah adalah anak keempat dan putri ketiga dalam keluarga Nawawi. Pendidikan untuk anak penting bagi Nawawi: anak-anaknya disekolahkan ke sekoah Eropa; dua saudara perempuan Syarifah mendapat pendidikan privat di rumah.
Nawawi yang berpikiran maju memasukkan Syarifah ke Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi. Tamat dari sana kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Kweekschool Bukittingi, tempat ayahnya mengajar, pada tahun 1907. Syarifah adalah satu-satunya murid perempuan di antara 75 orang murid sekolah itu di tahun 1908 (17 orang calon ambtenaar/pegawai, 58 orang calon guru). Dengan demikian, Syarifah adalah gadis Minang pertama yang mencicipi sistem pendidikan sekolah Eropa.
Tamat dari Kweekschool Bukittinggi, Syarifah, bersama dengan saudara perempuannya, Syamsiar, dikirim oleh ayahnya ke Salemba School di Batavia. Di sana ia berkenalan dengan tunangan Bupati Cianjur, R.A.A.M. Wiranatakoesoema, yang kemudian ikut menentukan jalan hidupnya: dalam suatu kunjungan tamasya ke Cianjur, atas ajakan tunangan Wiranatakoesoema, Syarifah bertemu dengan bangsawan Sunda itu. Wiranatakoesoema jatuh cinta kepada Syarifah. Mereka akhirnya menikah bulan Mei 1916 (waktu itu Wiranatakoesoema sudah punya dua istri, yang kemudian diceraikannya karena ingin menikahi Syarifah). Mulai tahun 1920 R.A.A.M. Wiranatakoesoema diangkat menjadi Regent Bandung.
Namun rumah tangga Syarifah dengan R.A.A.M. Wiranatakoesoema tidak langgeng: tanggal 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di rumah orang tuanya di Bukittinggi, ayah Syarifah menerima telegram dari suaminya yang sedang berada di kapal antara Colombo dan Aden dalam perjalanan beliau naik haji ke Mekah. Isi telegram itu melarang Syarifah pulang lagi ke Bandung untuk memangku jabatan Raden Ayu Bandung karena ia kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi tata hidup Sunda, demikian tulis Mien Soedarpo dalam kenangan terhadap ibunya itu (1994:11): Syarifah telah diceraikan oleh suaminya. Banyak kecaman diterima oleh R.A.A.M. Wiranatakoesoema atas keputusannya menceraikan Syarifah, yang muncul di koran-koran Belanda maupun pribumi, termasuk oleh H. Agus Salim.
Syarifah tegar menerima perceraiannya, dan tidak dendam kepada mantan suaminya. Ia tidak penah menikah lagi, dan menjadi single parent untuk 3 anaknya: Am, Nelly, dan si bungsu Minarsih (Mien) yang kemudian menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang tokoh pejuang kemerdekaan. Hubungan baiknya dengan teman-temannya, termasuk sejumlah keluarga petinggi Belanda seperti Gubernur Jendral Van Limburg Stirum dan istri, keluarga Hazeu, dan keluarga Baron van Asbeeck, tetap berlanjut. Syarifah, yang fasih berbahasa Belanda, tetap berkorespondensi dengan mereka.
Syarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukittinggi tahun 1924-1937. Ia bekerja sebagai kepala sekolah De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) di kota kelahirannya itu. Pada tahun 1928 ayahnya, Guru Nawawi, meninggal. Kemudian tahun 1937 menyusul ibunya wafat. Setelah kematian ibunya, Syarifah hijrah ke Batavia untuk menemani anak-anaknya bersekolah di HBS Koning Willem III (di Salemba sekarang). Seperti halnya almarhum bapaknya, Syarifah adalah seorang ibu yang telah tercerahkan pikirannya tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak. Setamat HBS, Syarifah menyekolahkan anak-anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Di Batavia, Syarifah dan anak-anaknya mula-mula tinggal di rumah saudaranya, Djauhar, di Kwitang. Kemudian ia menjabat sebagai direktur Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis (Jatinegara). Tahun 1938 keluarga Syarifah pindah ke sebuah rumah yang disewa sendiri di Jatinegara (Laan Bafadel 4). Tahun 1942 mereka pindah lagi ke Pegangsaan Barat, ke sebuah rumah keluarga Eropa yang akhirnya mereka warisi.
Ketiga anak Syarifah masih berhubungan baik dengan ayahnya di Bandung; kadang-kadang anak-anak dan bapaknya bertemu di Batavia kalau kebetulan Wiranatakoesoema yang sekarang sudah menjadi anggota Volksraad datang ke kota itu untuk tugas resmi. Tetapi Syarifah tidak pernah mau menerima kembali mantan suaminya itu. Belakangan Mien Soedarpo (1994) menulis bahwa mungkin perceraian ibu dan ayahnya lebih disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kelas sosial: dapat dimengerti bahwa seorang wanita Minangkabau seperti Syarifah yang berasal dari alam demokrasi ala Minang yang tidak mengenal segregasi sosial yang ketat tak tahan melihat tebalnya feodalisme kebudayaan Sunda, khususnya dalam kehidupan kaum menaknya (ini terefleksi dalam telegram perceraian yang diterima ayahnya di tahun 1924).
Waktu Jepang masuk, Syarifah mengundurkan diri sebagai direktur Sekolah Kemajuan Istri. Mien Soedarpo (1994:53) menulis tentang kegiatan ibunya setelah itu: Ia tetap [mengabdikan hidupnya] untuk memajukan pendidikan wanita dan anak-anak. Ibu aktif di Fujinkai, organisasi umum wanita yang ditopang oleh Jepang, ia kemudian aktif di Perwari, organisasi wanita yang didirikan tahun 1945. Di samping [itu], ia meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya pendidikan. Bahkan ia menyulap rumahnya menjadi sekolah.
Syarifah Nawawi meninggal di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Anak-anaknya merawatnya sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di tanah air diakui umum. Ia juga simbol emansipasi kaum wanita Minangbukan emansipasi semu yang dibungkus mamangan adat dan pepatah petitih yang elok bunyinya itu. Syarifah menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal pamrih bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya. Foto ilustrasi untuk artikel ini direproduksi dan dikreasi dari buku anak perempuan Syarifah, Mien Soedarpo, Kenangan Masa Lampau, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Sejati, 1994:4).
Suryadi, alumnus Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda ( s.suryadi at hum.leidenuniv.nl)