Orang Minangkabau terkesan terlalu membanggakan demokrasi matrilinealnya, yang katanya membuat status kaum wanita mereka lebih baik dalam masyarakat ketimbang kaum wanita dari suku bangsa lain. Sampai batas tertentu hal itu mungkin betul. Namun, pada hakekatnya kaum wanita Minang pada zaman lampau, seperti halnya di tempat-tempat lain, juga tersubordinasi di bawah dominasi kaum pria. Di bidang pendidikan umpamanya, umumnya keluarga Minang menganggap lebih penting menyekolahkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan (lihatlah refleksinya dalam banyak novel Indonesia awal yang dituils oleh penulis Minang). Anak-anak gadis dipingit orang tuanya di rumah untuk kemudian menjalani kawin paksa di usia muda. Mungkin Syarifah Nawawi adalah gadis Minang pertama yang terbebaskan dari tradisi kuno itu.
Syarifah lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar Soetan Mamoer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan. Syarifah adalah anak keempat dan putri ketiga dalam keluarga Nawawi. Pendidikan untuk anak penting bagi Nawawi: anak-anaknya disekolahkan ke sekoah Eropa; dua saudara perempuan Syarifah mendapat pendidikan privat di rumah.
Nawawi yang berpikiran maju memasukkan Syarifah ke Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi. Tamat dari sana kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Kweekschool Bukittingi, tempat ayahnya mengajar, pada tahun 1907. Syarifah adalah satu-satunya murid perempuan di antara 75 orang murid sekolah itu di tahun 1908 (17 orang calon ambtenaar/pegawai, 58 orang calon guru). Dengan demikian, Syarifah adalah gadis Minang pertama yang mencicipi sistem pendidikan sekolah Eropa.
Tamat dari Kweekschool Bukittinggi, Syarifah, bersama dengan saudara perempuannya, Syamsiar, dikirim oleh ayahnya ke Salemba School di Batavia. Di sana ia berkenalan dengan tunangan Bupati Cianjur, R.A.A.M. Wiranatakoesoema, yang kemudian ikut menentukan jalan hidupnya: dalam suatu kunjungan tamasya ke Cianjur, atas ajakan tunangan Wiranatakoesoema, Syarifah bertemu dengan bangsawan Sunda itu. Wiranatakoesoema jatuh cinta kepada Syarifah. Mereka akhirnya menikah bulan Mei 1916 (waktu itu Wiranatakoesoema sudah punya dua istri, yang kemudian diceraikannya karena ingin menikahi Syarifah). Mulai tahun 1920 R.A.A.M. Wiranatakoesoema diangkat menjadi Regent Bandung.
Namun rumah tangga Syarifah dengan R.A.A.M. Wiranatakoesoema tidak langgeng: tanggal 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di rumah orang tuanya di Bukittinggi, ayah Syarifah menerima telegram dari suaminya yang sedang berada di kapal antara Colombo dan Aden dalam perjalanan beliau naik haji ke Mekah. Isi telegram itu melarang Syarifah pulang lagi ke Bandung untuk memangku jabatan Raden Ayu Bandung karena ia kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi tata hidup Sunda, demikian tulis Mien Soedarpo dalam kenangan terhadap ibunya itu (1994:11): Syarifah telah diceraikan oleh suaminya. Banyak kecaman diterima oleh R.A.A.M. Wiranatakoesoema atas keputusannya menceraikan Syarifah, yang muncul di koran-koran Belanda maupun pribumi, termasuk oleh H. Agus Salim.
Syarifah tegar menerima perceraiannya, dan tidak dendam kepada mantan suaminya. Ia tidak penah menikah lagi, dan menjadi single parent untuk 3 anaknya: Am, Nelly, dan si bungsu Minarsih (Mien) yang kemudian menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang tokoh pejuang kemerdekaan. Hubungan baiknya dengan teman-temannya, termasuk sejumlah keluarga petinggi Belanda seperti Gubernur Jendral Van Limburg Stirum dan istri, keluarga Hazeu, dan keluarga Baron van Asbeeck, tetap berlanjut. Syarifah, yang fasih berbahasa Belanda, tetap berkorespondensi dengan mereka.
Syarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukittinggi tahun 1924-1937. Ia bekerja sebagai kepala sekolah De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) di kota kelahirannya itu. Pada tahun 1928 ayahnya, Guru Nawawi, meninggal. Kemudian tahun 1937 menyusul ibunya wafat. Setelah kematian ibunya, Syarifah hijrah ke Batavia untuk menemani anak-anaknya bersekolah di HBS Koning Willem III (di Salemba sekarang). Seperti halnya almarhum bapaknya, Syarifah adalah seorang ibu yang telah tercerahkan pikirannya tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak. Setamat HBS, Syarifah menyekolahkan anak-anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Di Batavia, Syarifah dan anak-anaknya mula-mula tinggal di rumah saudaranya, Djauhar, di Kwitang. Kemudian ia menjabat sebagai direktur Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis (Jatinegara). Tahun 1938 keluarga Syarifah pindah ke sebuah rumah yang disewa sendiri di Jatinegara (Laan Bafadel 4). Tahun 1942 mereka pindah lagi ke Pegangsaan Barat, ke sebuah rumah keluarga Eropa yang akhirnya mereka warisi.
Ketiga anak Syarifah masih berhubungan baik dengan ayahnya di Bandung; kadang-kadang anak-anak dan bapaknya bertemu di Batavia kalau kebetulan Wiranatakoesoema yang sekarang sudah menjadi anggota Volksraad datang ke kota itu untuk tugas resmi. Tetapi Syarifah tidak pernah mau menerima kembali mantan suaminya itu. Belakangan Mien Soedarpo (1994) menulis bahwa mungkin perceraian ibu dan ayahnya lebih disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kelas sosial: dapat dimengerti bahwa seorang wanita Minangkabau seperti Syarifah yang berasal dari alam demokrasi ala Minang yang tidak mengenal segregasi sosial yang ketat tak tahan melihat tebalnya feodalisme kebudayaan Sunda, khususnya dalam kehidupan kaum menaknya (ini terefleksi dalam telegram perceraian yang diterima ayahnya di tahun 1924).
Waktu Jepang masuk, Syarifah mengundurkan diri sebagai direktur Sekolah Kemajuan Istri. Mien Soedarpo (1994:53) menulis tentang kegiatan ibunya setelah itu: Ia tetap [mengabdikan hidupnya] untuk memajukan pendidikan wanita dan anak-anak. Ibu aktif di Fujinkai, organisasi umum wanita yang ditopang oleh Jepang, ia kemudian aktif di Perwari, organisasi wanita yang didirikan tahun 1945. Di samping [itu], ia meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya pendidikan. Bahkan ia menyulap rumahnya menjadi sekolah.
Syarifah Nawawi meninggal di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Anak-anaknya merawatnya sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di tanah air diakui umum. Ia juga simbol emansipasi kaum wanita Minangbukan emansipasi semu yang dibungkus mamangan adat dan pepatah petitih yang elok bunyinya itu. Syarifah menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal pamrih bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya. Foto ilustrasi untuk artikel ini direproduksi dan dikreasi dari buku anak perempuan Syarifah, Mien Soedarpo, Kenangan Masa Lampau, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Sejati, 1994:4).
Suryadi, alumnus Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda ( s.suryadi at hum.leidenuniv.nl)
Categories: